Jakarta Tak ada yang menyangkal keindahan Raja Ampat nun di Papua Barat sana. Tapi sayang, ekosistem Raja Ampat terancam gara-gara nelayan ilegal mengincar hiu. Maklum, harga sirip hiu di pasaran sungguh menggiurkan.
Tak urung, Conservation International (CI) Indonesia menyayangkan lolosnya 33 nelayan yang menangkap hiu secara ilegal di kawasan konservasi hiu di Raja Ampat. Para nelayan tersebut sempat ditahan oleh gabungan patroli gabungan masyarakat adat kampung Salyo dan Selpele serta Pos Angkatan Laut Waisai pada hari Senin (30/4) di perairan Raja Ampat.
Dari penyergapan tersebut, tim patroli menyita barang bukti sirip hiu, bangkai ikan hiu, pari, manta, dan teripang yang diperkirakan bernilai Rp 1,5 miliar. Semua hasil tangkapan nelayan dan dokumen kapal disita dan nelayan diperintahkan untuk mengikuti kapal patroli ke pelabuhan Waisai. Sayangnya, mereka melarikan diri dan kini masih dalam pengejaran.
Direktur Eksekutif Conservation International Indonesia Ketut Sarjana Putra menyatakan keprihatinannya atas kejadian ini. “Penangkapan ikan secara ilegal di kawasan konservasi hiu Raja Ampat merupakan kejadian yang sangat kami sesalkan. Tindakan ilegal para nelayan itu dapat merusak proses peremajaan hiu di kawasan konservasi perairan Raja Ampat. Hal ini jelas merugikan masyarakat lokal karena mengurangi ketersediaan ikan hiu yang bernilai ekonomi tinggi bagi mereka,” ungkapnya dalam siaran pers, Minggu (6/5/2012).
Atas kejadian tersebut, pemerintah telah mengirimkan bantuan patroli serta menempatkan polisi perairan dan pos Angkatan Laut di sekitar Pulau Sayang, Kabupaten Raja Ampat. Pemerintah juga menempatkan polisi perairan di Pulau Wayag sejak tanggal 4 Mei 2012.
“Kami sangat menghargai upaya pemerintah yang dengan cepat membantu mengirimkan aparat penegak hukum. Kami juga berharap agar kapal pelanggar dapat dikejar dan pelakunya ditangkap serta diproses secara hukum,” papar Ketut.
Aktivitas ilegal kapal penangkap ikan terjadi di sekitar Pulau Sayang dan Pulau Piai yang terdapat di dalam Kawasan Konservasi Perairan Waigeo Barat, Kabupaten Raja Ampat. Berdasarkan adat, kawasan ini dimiliki secara turun temurun oleh suku Kawe. Sejak empat tahun lalu suku Kawe secara adat telah menyatakan area seluas 155.000 hektar di Wayag dan Sayang tertutup untuk kegiatan penangkapan ikan. Penutupan dilakukan untuk membangun bank ikan bagi perairan sekitar yang merupakan sumber mata pencarian bagi masyarakat untuk menangkap ikan.
Kawasan tertutup ini dipantau secara rutin selama 24 jam secara bergantian oleh anggota masyarakat adat Kawe.
Menanggapi kejadian tersebut Sekretaris Daerah Raja Ampat Ferdinand Dimara turut menyatakan keprihatinannya. “Aktivitas nelayan ilegal di Pulau Sayang jelas melanggar peraturan kawasan konservasi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat dan Pemerintah Nasional. Usaha masyarakat Kawe dalam menjaga sumber daya lautnya sangat terpuji dan kita perlu mendukung usaha mereka dalam menjaga perairan untuk masa depan mereka,” tegasnya.
Tokoh Adat dan Masyarakat Raja Ampat Hengky Gaman mengecam kejadian tersebut dan meminta pemerintah melakukan tindakan tegas. “Pemerintah harus memberikan hukuman berat kepada nelayan ilegal karena mereka telah melakukan pencurian di wilayah yang selama ini kami lindungi. Nelayan ilegal tersebut harus membayar denda adat kepada orang Kawe sebagai pemilik hak adat atas wilayah pulau Sayang,” serunya.
Dari tujuh kapal yang digunakan nelayan, satu kapal berasal dari Buton, dua kapal berasal dari Sorong, dan empat kapal berasal dari Kampung Yoi, Halmahera. Tidak satupun nelayan berasal dari Raja Ampat.
Conservation International (CI) bekerja di wilayah seluas 183.000 km di Kepala Burung, Papua dengan tujuan merancang wilayah tersebut menjadi sumber mata pencarian bagi masyarakat setempat yang sangat bergantung pada laut.
“CI membantu memperkuat ketahanan pangan masyarakat setempat serta menjadikan wilayah ini sebagai tujuan wisata kelas dunia dan sebagai pilar pembangunan ekonomi kreatif di Indonesia,” pungkas Ketut.
Hiu memainkan peran penting dalam dunia perikanan dan kesehatan ekosistem. Hiu yang
hidup di alam aslinya dapat menghasilkan pendapatan pariwisata yang besar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Australian Institute of Marine Science pada tahun 2010 di Palau, seekor hiu karang diperkirakan memiliki nilai ekonomis tahunan Rp1,6 miliar dan nilai seumur hidup sebesar Rp 17,5 miliar untuk industri pariwisata. Kawasan Raja Ampat memiliki potensi pariwisata hiu sebesar Rp165 miliar per tahun dan menyumbang pendapatan daerah sebesar Rp2,5 miliar per tahun dari sektor pariwisata.
Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah hiu terbesar di dunia namun ironisnya populasi hiu terus menurun. Di masa lalu, perburuan sirip hiu lazim dilakukan di Raja Ampat, terutama oleh nelayan yang berasal dari luar Raja Ampat. Mereka tertarik datang berburu ke Raja Ampat, yang pada tahun 90-an dianggap sebagai salah satu daerah terakhir di Indonesia yang memiliki populasi hiu yang sehat. Populasi hiu pun kemudian menurun akibat pengambilan ikan secara besar-besaran.
Selama lima tahun terakhir, dengan pembentukan jaringan Kawasan Konservasi Perairan dan pembentukan Kawasan Konservasi Hiu di Raja Ampat, mulai terlihat tanda-tanda pemulihan populasi hiu. Kejadian pembantaian hiu ini menandai suatu kemunduran dalam proses pemulihan populasi hiu di Kawasan konservasi Perairan Kawe dan Raja Ampat secara keseluruhan. Walaupun demikian, reaksi cepat dari masyarakat dan pemerintah daerah menunjukkan komitmen mereka untuk menegakkan peraturan Kawasan Konservasi Perairan dan Kawasan Konservasi Hiu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar